/>
 
Isi pantun-pantun Minangkabau yang penggambarkan kehidupan muda-mudi biasanya menyangkut tiga hal. Pertama, kekaguman seorang kekasih. Kedua, ungkapan cinta, yang menggambarkan perasaan cinta yang tak tertahankan. Ketiga, Seperti apa cinta itu, yang menggambarkan kualitas cinta, di mana suara puitis bisa mewakili lelaki maupun perempuan. Si aku lirik terbakar hatinya dan merasa akan mati karena cinta. Dalam rubrik Khazanah Pantun Minang nomor 14 ini kami sajikan lagi beberapa bait pantun yang merefleksikan ketiga tema itu.

109. Bacincin parmato akiak,
Talatak di ateh atok,
Mato lah pueh dek mancaliak,
Tangan tak buliah mangakok.

110. Baatua panjaik sangkuik,
Badarai kulindan suto,
Babaua balun lai patuik,
Bacarai hati kok ibo.

111. Marapalam sarangkai kuniang,
Jatuah badabuak ka talago,
Disemba anak bidodari,
Kok carai kasiah jo nan Kuniang,
Awan batapuak gunuang lago,
Bulan babantah jo matoari.

112. Kampia pandan kampia bapetak ,
Barisi kulidan suto,
Nan Kuniang kaubek litak,
Nan Itam balahan nyao.

113. Karikam banyak karikam,
Kamuniang bakarek-karek,
Nan itam banyak nan itam,
Nan kuniang banyak cilalek.

114. Dibalah lauik dibandakan,
Ambiaklah rotan kakatayo,
Dibalah paruik dibanakan,
Tidaklah Tuan ka picayo.

115. Urang malukah manikalak,
Indak rotan katayo lai,
Urang basumpah sadang galak,
Indak urang picayo lai.

116. Rajo Jawa mamilin suto,
Suto kiriman ‘rang Pasaman,
Dibao urang ka Painan,
Ambiak panjaik siba baju,
Pakaian Sutan dari Lunang,
Kalau takana jo nan lamo,
Ambiak api baka kumayan,
Duduak di tampaik panjaiktan,
Tangguang di hati Adiak surang,
Urang jangan dibari tahu.

Dilihat boleh, dipegang jangan (dulu), karena belum resmi menikah, demikian kira-kira maksud isi bait 109. Muda-mudi yang sedang berkasih-kasihan memang harus menjaga harga diri dan kesopanan. Susah memang kalau statusnya masih pacaran, jelas belum patut melakukan apa saja terhasrat di hati. Tapi toh kalau berpisah, hati mungkin terasa hiba juga (110). Apalagi kalau putus dengan si cantik yang berkulit kuning (langsat), akan chaos dunia dan alam semesta jika harus berpisah dengannya (111) suatu hiperbola yang sangat memikat.

Hitam manis dan kuning langsat memang dua tipe wanita ideal di masa lalu. Hanya perempuan sekarang saja tergila-gila memutihkan kulit dengan berbagai cara. Jelas ini pengaruh Eropa yang disebarkan melalui wacana mode dan kecantikan. Isi bait 112 dan 113 menyiratkan konsep ideal warna kulit perempuan secara kultural dalam masyarakat Minangkabau dan Melayu pada umumnya. Tapi ada kesan rembang mato dalam baris-baris isi kedua bait itu. Yang jelas, sekarang hanya boleh pilih satu di antara dua: si hitam (manis) yang jadi belahan nyawa atau si kuning (langsat) bertahi lalat yang bisa mengobati rasa lapar? Poligami boleh, tapi konsekuensinya berat.

Kalau bicara soal sumpah memang sulit. Apalagi di masa sekarang, sudah disumpah menjujung Al-Quran, tapi korupsi juga. Apalagi kalau bersumpah soal cinta, walau mungkin sudah dikatakan secara sungguh-sungguh (diibaratkan sebagai membelah dada), sang kekasih kadang-kadang belum percaya juga (114). Nah, dapat dibayangkan bagaimana kekasih Anda bisa percaya jika Anda bersumpah sambil ketawa (115): jelas tidak meyakinkan dan malah terkesan nggak serius.

Bait terakhir berisi pesan kepada para pemutus cinta. Sebelum mengambil keputusan untuk berpisah lebih baik pertimbangkan masak-masak dulu. Sebab sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Masalahnya, kalau ingat si dia lagi (takana nan lamo), apalagi kalau cinta pertama, bisa repot: bisa meremuk hati. Kalau sampai orang lain tahu, diri sendiri bisa jadi malu, dibilang nanti menjilat ludah sendiri. Asal ingat saja: first love never die, kata orang Sunur.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 6 Februari 2011

 
Para sarjana Barat seperti Hans Overbeck, W.A. Braasem, R.J. Wilkinson, Franc?ois-Rene? Daillie, A.W. Hamilton, R.J. Chadwick, dan lain-lain telah memaparkan bermacam-macam teori tentang pantun. Yang lain mencoba mencari jawaban kenapa orang Melayu dapat menciptakan pantun sambilbasipiciang. Hanya saja mereka tak sadar bahwa pantun sudah mengalir dalam darah seorang Melayu atau Minangkabau sejak dia menetek di susu ibunya. Ninabobok dalam bentuk pantun mengaliri ke dalam darahnya melalu air susu ibu yang dihisap si bayi, menancap di otaknya sampai tua. Itulah sebabnya jika dia jatuh cinta, rindu kepada ibu, atau bersedih, pantun menjadi media penyampaikan. Nikmatilah sajian ke-13 Khazanah Pantun Minang ini.

101. Camin di rumah Malin Sutan,
Urang di pakan bajua-bali,
Ingin di buah manggih hutan,
Masak ranum tagantuang tinggi.

102. Balayia biduak ‘rang Kajai,
Kanai cadiak biduk ‘rang Sumpu,
Di Adiak sayang tagadai,
Bak inai di ujuang kuku.

103. Kayu gadang tabalintang,
Tatarah bagaragaji balun,
Anak si Anu nan marintang,
Tampak alah ka mari balun.

104. Kain sisampiang nan bagaruih,
Talatak di kincia juo,
Anak si Anu nan rancak aluih,
Duduak di pintu nan manggilo.

105. Rami balainyo Pakan Satu,
Pariknyo dalam bakuliliang,
Dahulu Adiak sipaik satu,
Kini bak cando urang asiang.

106. Rumpuik banamo rumpuik rantai,
Sakah ditimpo daun kundua,
Kalau mukasuik tidak sampai,
Manangih tulang dalam kubua.

107. Anyuik parian batali rumin,
Panuah barisi galo-galo,
Tuan sapantun kilek camin,
Di baliak gunuang tampak juo.

108. Tinggi maligai Rajo Batak,
Puti bagerai di halaman,
Pacik pitaruah banyak-banyak,
Sungguah bacarai lupo jangan.

Cinta beda status sosial, terlalu susah dijangkau, padahal pengen sekali. Itulah pesan pada bait 101. Makanya kalau jatuh cinta dikira-kira dulu, selevel nggak? Cinta yang tergadai memang cocok diibaratkan bagai inai di ujung kuku: setiap saat potensial akan (di)jatuh(kan), dibuang (102). Artinya: harus pandai-pandai menjaganya, bak mananai minyak panuah kata orang Minang. Makanya kalau jatuh cinta jangan karena utang budi, repot nanti jadinya.

Kalau lagi naksir memang susah: teringat terus, kelihatan dari jauh, tapi belum punya kesempatan untuk berdekatan, belum bisa disuruh datang jika kangen terasa (103). Kadang-kadang sengaja lewat di depan rumah si cantik halus itu, pura-pura menjadi penggalas ayam, atau pura-pura mencari kerbau yang lepas, padahal maksudnya biar bisa melihat si gadis pujaan. Dan jika kelihatan dia sedang berjuntai di pintu, hati jadi gembira, tapi mulut sering jadi kelu (104). Bait 105 menggambarkan hati yang berpaling, sudah masuk minyak tanah orang ketiga, sudah buang muka dia apabila ketemu di jalan. Padahal kalau tak jadi kawin dengan si dia, bisa-bisa jadi patah hati, yang bisa mempercepat kematian (106).

Orang besar memang bisa kelihatan dari mana-mana. Itu sudah hukum pergaulan hidup manusia di dunia ini: yang kaya, berpangkat, berkuasa, dikenal oleh banyak orang, tercelak tampak jauh. Itulah antara lain makna bait 107. Tapi bisa juga maknya terkait dengan kehidupan muda-mudi: si gadis terus teringat kepada si pemuda, walaupun dia berada jauh dari dirinya (dikiaskan di balik gunung). Pokoknya, siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi. Makin jauh si pemuda pergi, makin jelas bayangan wajah tampannya dalam pikiran si gadis. Itulah siksaan yang nikmat.

Akhirnya, pesan bait terakhir (108) jelas perlu diamalkan oleh siapa saja yang sudah berjanji sehidup-semati. Jangan hanya karena berjarak lalu Anda cepat berpaling, cepat lupa kepada janji setia. Sumpah setia itu harus tetap di pegang, dipacik arek diganggam taguah. Sebaliknya si gadis juga harus yakin: bahwa ayam tetap akan pulang ke pautan.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 30 Januari 2011



 
Seperti pada minggu lalu, rubrik Khazanah Pantun Minang nomor 12 ini, yang sudah mencapai bait ke-100, mempersembahkan kepada pembaca setianya serenjeng lagi pantun Minang klasik, kado kecil dari Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda. Sifat klasiknya dapat dikesan dari banyak kata arkhais yang ditermukan dalam teksnya: kata mantialau [sejenis burung berbulu kuning] dan nambek, misalnya, tentu sudah kurang akrab di telinga anak muda kini.

Seperti biasanya, ulasan kami dalam rubrik ini hanya sekedar memberi obor kecil bagi penikmat pantun Minangkabau, khususnya kalangan generasi muda, untuk menelusuri rimba makna konotatifnya. Untuk kajian yang lebih dalam, baik mengenai sistem majasnya, hubungan sampiran dan isinya, gaya bahasanya, dan lain sebagainya, kita persilahkan saja para peneliti di Balai Bahasa Padang, dosen/mahasiswa di Jurusan Sastra Daerah/Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau Fakultas Sastra Universitas Andalas, atau scholar lain yang berminat untuk melakukannya. Selamat menikmati.

94. 
Mantialau di bawah batang,
Baminyak cando bulunyo,
Kian dialau kian datang,
Burung lah jinak dahulunyo.

95. 
Baminyak batang timbakau,
Ambiak pangaik gagang bungo,
Kok jinak nambek dicakau,
Pado manjadi lia lamo.

96. 
Mudiak Pauh iliakan Pauh,
Batungkek batang kamumu,
Disakah daun baringin,
Katudung anak di Turawan,
Adiak jauah kami pun jauah,
Pabilo maso ka batamu?
Kasiah kirimkanlah di angin,
Sayang kirimkanlah di awan.

97. 
Putuih terantak tali balam,
Putuih ditimpo hujan labek,
Tasentak Adiak tangah malam,
Urai aia mato bagulambek.

98. Balayia tantang Taluk Kasai,
Sudah bamuek daun padi,
Aia mato salamo carai,
Kok sumua elok tampaik mandi.

99. 
Guruah-gamuruah dalam kabuik,
Daga-badaga dalam bulan,
Tampuruang bari batali,
Nuri mako urang sangkakan,
Ka bapisuruah kami takuik,
Ka bakato kamaluan,
Mukasuik lah lamo dalam hati,
Kinilah baru kami banakan.

100. 
Diambuih pupuik dipantakan,
Di Puruih pandan manjarami,
Dek takuik muluik mangatokan,
Rasailah badan maidoki.

Datak hati ateh pado tanuang : mungkin kalangan pembaca Padang Ekspres yang sudah pinang sirahikua hingga yang sudah bertongkat batang tibarau tentu tergelak-gelak kacang bogo membaca pantun-pantun yang kami sajikan ini. Barangkali mereka teringat kepada masa mudanya kembali. Sementara pembaca dari kalangan muda, mungkin merasa makin ingin tahu, ingin mengecap lagi seni estetika berbicara Minangkabau yang penuh dengan kata berkias itu.

Baris isi bait 94 menyiratkan si dia yang sudah kena pelet. Udah nggak bisa diputusin lagi. Ibaratnya: kalau nggak sama Abang, biarlah Adinda gantung diri. Nah, kalau si dia sudah cinta mati begitu, cepat-cepatlah menghadap keluarganya sambil membawa cincin tunangan. Jangan bertangguh sampai Anda dapat kerja dulu, sebab bisa saja nanti dia kabur lagi (pado manjadi lia lamo) (95).

Baris-baris isi bait 96-98 mengilatkan kekasih yang jauh di rantau lagi. Ini adalah salah satu inti yang penting dalam sastra Minangkabau. Soal berpisahkan sepasang kekasih karena faktor merantau tidak saja kentara dalam pantun-pantun Minangkabau, tapi juga dalam kaba. Ini jelas merupakan refleksi sosiologis dari budaya merantau orang Minang. Rupanya sudah cukup lama rantau menceraikan sejoli lirik dalam bait-bait itu. Jika rindu-dendam sudah membakar hati, orang tidak segan-sengan menyeru pertolongan kepada (si)apa saja, juga kepada angin dan awan (96). Dan bagi si gadis yang menunggu kekasihnya dengan setia, bila terbangun di tengah malam, hanya air mata yang akan mengalir (97), tentu diiringi kemudian dengan sedu sedan. Beda sekali ya dengan fenomena sekarang: Anda bisa langsung pencet blackberry, kirim sms atau telepon langsung kepada si dia di Jawa sana.

Dan…amboi…bait 98 itu paling saya sukai: hiperbolanya lebih tinggi dari Gunung Singgalang. Masaksih selama berpisah air mata si dia sudah menggenang bagai air di sumur, yang bisa dijadikan air mandi? Tapi tunggu dulu: kiasan hiperbolis yang luar biasa ini agaknya boleh dirasakan oleh mereka yang sedang jatuh cinta berat tapi terpaksa berpisah berbilang tahun.

Baris-baris isi dua bait terakhir adalah pesan tunjuk hidung kepada si peragu: jangan malu mengutarakan isi hati, beranikan diri, fokuskan pikiran, tapi jangan sampai terkesan seperti seorang penggemis cinta (oh…lagu dangdut lagi!). Sebab jika maksud yang terkandung di hati sudah lama ada, tapi lama kemudian baru berani mengungakapkannya, saya khawatir Anda sudah terlambat. Dan jika sudah terlambat, hanya karena mulut takut mengatakan, besar kemungkinan badan (dan jiwa) Anda akan marunuih (merana) karenanya (100). Ini zaman sudah cukup edan. Rejeki elang bisa disambar musang.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 23 Januari 2011

 
Peminat rubrik Khazanah Pantun Minangkabau mungkin ibarat orang perimba: makin jauh perjalanan makin gelap hutan yang ditempuh. Minggu ini, untuk kali yang ke-11, kami sajikan delapan bait pantun muda lagi yang makna kiasnya terasa makin pekat. Tentu saja, seperti biasa, di bagian akhir kami sediakan suluh kecil untuk memahami apa di balik yang tersurat. Tokok tambahnya tentu utang para mamak menjelaskan kepada kemenakannya.

86. Pisang sirandah masak ampek,
Mari diguntiang jo dirauik,
Carilah biduak panjang ampek,
Paambiak bungo dalam lauik.

87. Tumbuahlah pandan tangah laman,
Diambiak untuak sahalai lapiak,
Kalau runtuah Gunuang Pasaman,
Batu balah bungo diambiak.

88. Sikudidi makan ka pantai,
Kariang pasang makan ka tangah,
Baiak budi nan kuniang lanjai,
Diadu kami parang menah!

89. Dari Siturak ka Situngkai,
Dari Simabua nak ka Gasan,
Tupai malompek malapari,
Cubolah urak jan diungkai,
Cubolah buhua jan mangasan,
Adiak tadanga biopari.

90. Dari Siturak ka Situngkai,
Tabanglah anak murai batu,
Indak taurak indak taungkai,
Labiah satagok kabun batu.

91. Ruak-ruak tabang ka munggu,
Tabang jo anak unggeh pudiang,
Bara ka tagok kabun batu,
Mari diurak jo kalingkiang.

92. Kok Siturak babatang pimpiang,
Tupai malompek malapari,
Kok taurak jo kalingkiang,
Itu namonyo biopari.

93. Batak mandi Ulando mandi,
Rumpuik manih limau kasumbo,
Pasak basi karando basi,
Muluik nan manih pangungkainyo.

Kiasan dalam baris-baris isi kedelapan bait pantun di atas adalah mengenai seorang gadis (tapi bisa juga bujang) yang tak mempan oleh cumbu-rayu, yang memakai prinsip meminjam istilah anak muda sekarang Emangnye gue pikirin!. Pokoknya, sudah banyak yang coba mendekati si dia, tapi tidak ada yang berhasil. Pulang dengan tangan hampa.

Bunga dalam baris-baris isi bait 86 dan 87 jelas kiasan kepada gadis, yang diproteksi oleh keluarganya, bagai seorang putri raja yang siang-malam duduk menyulam di anjung peranginan (ibarat bunga yang jauh di dasar laut, sukar diperoleh). Kalau berhasil mendekati keluarganya (yang protektifnya ibarat Gunung Pasaman yang berbatu cadas keras), tentu saja dengan syarat yang sesuai (ibarat biduk panjang empat), maka mungkin sudah lebih lempang jalan bagi Anda untuk mendapatkan gadis idaman itu. Yang namanya idola yang diincar banyak orang, jelas Anda atau saya tak bakalan menolak si gemulai berulit kuning (kuniang lanjai) yang baik budi itu: Diadu kami parang menah! (88). Meminjam ungkapan anak muda sekarang: Siapa takut?.

Ada pelajaran bagus dalam baris-baris isi bait 89: jika Anda ada masalah (cinta) dengan si dia, jangan sampai diketahui orang lain. Sebaliknya, jika gayung bersambut (si dia memberi harapan), jangan sampai orang lain tahu pula. Dengan kata lain: pintar menjaga rahasia. Itu tandanya Andabiopari (biaperi, cerdik).

Pendirian yang teguh memang bisa lebih kokoh daripada kebun batu (90), tak bergeming, susah mengurak dan mengungkainya. Tapi jika Anda pintar dan tahu rahasianya, pasti si dia akan menyerah juga: Anda akan berhasil mendapatkan kasih sayangnya. Kata kiasan kalingkiang (kelingking) yang digunakan untuk menguraknya (91 & 92) bisa berarti sesuatu yang halus dan lemah (ibarat jari kelingking). Makna yang terkandung dalam kedua bait ini sangat dalam: pendirian yang keras, hati yang tak bergeming, dapat dilunakkan dengan kata-kata yang lemah-lembut, budi bahasa yang menyejukkan hati.

Itulah pesan yang penting bagi kita di zaman ini, di mana kapitalisme yang makin mengentalkan budaya kebendaan makin mengikis sifat sopan santun dalam diri manusia. Ungkapan Yunani kuno:homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) makin kentara terasa. Kiranya ada gunanya menangguk pesan moral pada bait terakhir (93) di atas: Pasak basi karando basi /Muluiknan manih pangungkainyo: dengan mulut manis dan kucindan murah (kucindan = senda, gurau, kelakar), budi baik paham ketuju, hati atau pendirian yang paling keras pun niscaya akan meleleh.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 16 Januari 2011

 
Rasanya belum puas kita menyeruput manisnya estetika pantun muda Minangkabau. Minggu ini kami sajikan lagi beberapa kebat pantun muda yang penuh cumbu rayu dalam kelindan kata berkias. Cobalah rosok-rosok artinya oleh anak muda Minang kini. Jika tersesat di rimba maknanya, mungkin ini kesempatan untuk bertanya kepada mamak di beranda depan rumah gadang, ke mana ujung panah kata tertuju, ke mana makna baris-baris pantun berikut terarah.

77. Tak elok talang sambilu,
Tataruah di padi Jambi,
Tak elok baso bak itu,
Tak sudah di hati kami.

78. Laban badaun sanjo ari,
Pucuk malepai gaduang Cino,
Tuan badusun banagari,
Tidak bak untuang badan ambo.

79. Batang baringin ateh tanjuang,
Tampak nan dari Gunuang Padang,
Tampaik urang menggatah punai,
Kami danga barito buruang,
Di siko lai bungo kambang,
Mukasuik kami nak mamakai.

80. Kain putiah kain kulambu,
Jelo-bajelo di pagaran,
Bak apo kumbang tak ka tau,
Bungo lah kambang tiok dahan.

81. Lah masak padi ‘rang gunuang,
Satangkai digungguang alang,
Barapo lamo ka tagantuang?
Kok jatuah dapek di urang.

82. Aluih lunak saik timbakau,
Diisok jo ringan-ringan,
Buruang jinak indak tacakau,
Lah inggok di tapak tangan.

83. Anak kuok di ateh sakek,
Mamakan buah ringan-ringan,
Kato siapo tak ka dapek?
Lah inggok di tapak tangan.

84. Ayam kuriak bulunyo lunak,
Dibari makan ateh cawan,
Di urang tak amuah jinak,
Di kami mancotok tangan.

85. Gunung Padang duo saatua,
Tampak nan dari Pariaman,
Jikok santano buah catua,
Haram kok lapeh dari tangan.

Sulitnya menafsirkan pantun Minangkabau terletak pada watak bahasa yang digunakan, yang sangat samar dan susah dipahami. Kepelbagaian makna (polisemi) adalah unsur dalaman (intrinsik) yang melekat erat dalam pantun-pantun Minangkabau. Orang harus memahami konteks budaya dan sosial Minangkabau secara keseluruhan supaya dapat menafsirkan isi pantun tertentu. Oleh karena itu, disarankan juga supa pembaca rubrik Khazanah Pantun Minang untuk menimba kembali kekayaan bahasa dan sastra Minangkabau melalui berbagai tulisan yang lain dan sastra lisannya. Tentu saja orang juga perlu tahu konvensi pantun secara umum.

Baso (ungkapan budi) yang menyakitkan memang susah dilupakan. Itulah pesan bait 77. Ini catatan untuk anak muda: kalau menolak cinta, pakailah bahasa yang tidak menyakitkan, sehingga si pecundang tidak merasa tersinggung atau terhina. Toh pedomannya sudah ada dalam ungkapan Minangkabau: Mandeh Rubiah kabun bungo / Urang panggalak jago lalok / Urang panyuko alek datang / Baso baiak paham katuju (kursif oleh Suryadi). Jangan kurangi baso baiak, walau kepada orang dagang yang tidak berdusun ber-nagari sekalipun (78).

Sudah lumrah rupanya, di mana ada bunga yang mekar, ke sana kumbang berebut terbang. Kata bungo dan buruang dalam bait-bait pantun di atas jelas melambangkan gadis dan katakumbang merujuk kepada pemuda. Bait 79 dan 80 mengiaskan gadis (-gadis) cantik yang menjadi incaran banyak pemuda. Ada pemuda yang sudah lama mengintai, merayu dengan seratus cara dan seribu akal, tapi akhirnya si gadis lepas ke tangan orang lain (81). Ada yang sudah berdekatan dengan si gadis (lah inggok di tapak tangan), tapi hati tak berani menyatakan cinta, gemetaran, dipendam saja dalam hati. Akhirnya si gadis disambar pemuda lain (82). Ini pelajaran penting bagi pemuda: nyatakan rindu-dendam secara terus terang. Si gadis perlu bukti, paling tidak kata-kata I love you.

Sebaliknya, baris-baris isi bait 83 dan 84 merefleksikan rasa percaya diri si aku lirik (over confidence barangkali): gadis incaran yang susah didekati oleh pemuda-pemuda lain justru malah dengan gampang berhasil didekatinya (di urang tak namuah jinak / di kami mancotok tangan). Tapi mudah-mudahan tanpa bantuan dukun.

Dan kalau sudah dapat idaman hati, memang rasanya selalu ingin berdua, seperti buah catur yang tak lepas dari tangan (85). Bakoteng-koteng ke sana sini, lengket (bukan kayakamplop dan perangko, tapi seperti lapek jo daun). Tak percaya? Tanyakanlah kepada Suryadi. Tapi soal prakteknya, tanyalah gurunya, budayawan Wisran Hadi. Traktirlah beliau minum segelas kopi luwak, lalu bujuk beliau bercerita tentang masa mudanya.

(besambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 9 Januari 2011

 
Masa muda adalah masa yang indah. Mungkin karena itu setiap orang bernostalgia tentang masa muda. Mungkin karena itu pula generasi tua cenderung iri terhadap generasi muda, dan merasa tersaingi olehnya. Budaya apa saja tampaknya memanjakan orang mudanya, seperti terefleksi pula dalam pantun-pantun Minangkabau. Simaklah oleh anak muda (Minang) masa kini setandan pantun lagi yang kami petik dari pohon sastra Minangkabau.

71. Sikok jo gagak ateh baringin,
Pandai manari kaduonyo,
Kok taragak lieklah camin,
Badan badiri kaduonyo.

72. Salamo pandan badarai,
Lai ka rimbo garan kini?
Di padi batungkuik gumpo,
Kok gumpo antaro karok,
Karok ‘rang ambiak ka langgayan,
Taserak taurai pulo,
Aia di galuak ‘rang tapisi,
Batang pugago ‘rang kayuahkan,
Salamo badan bacarai,
Lai bacinto garan kini?
Di kami batukuak juo,
Kok lupo antaro lalok,
Kok lalok masuak rasian,
Tasentak takana pulo,
Dipaluak banta ditangisi,
Dipagang dado dikaluahkan.

73. Kok dilantak ka dibaakan,
Duri bapaga dengan nibuang
Nibuang bapaga nila pulo,
Samo lantungkan dalam padi,
Kok taragak ka dipangakan,
Nagari bapaga gunuang,
Gunuang bapaga rimbo pulo,
Samo tangguangkan dalam hati.

74. Limau Manih kampuang bajojo,
Iliakan jalan ka Simawang,
Adiak manih tangguanglah doso,
Kasiah ‘rang datang bailakan.

75. Sutan nak ilia Limau Puruik,
Babaju genggang baruci,
Mangapo Tolan ganjua suruik?
Takuik di miskin suka kami?

76. Tanang ulaknyo Batu Mandi,
Tarandam batang kambojo,
Gadang ilaknyo Tolan kini,
Takuik ditompang dagang hino.

Pada umumnya pantun, dari etnis mana saja asalnya, memiliki ciri yang sama secara prosodik. Pantun Minangkabau biasanya terdiri dari empat baris (kuatren), namun kadang-kadang bisa lebih, tapi tetap dengan jumlah larik genap. Dalam untaian pantun di atas kita menemukan dua bait pantun yang berlarik lebih dari 4, yaitu bait 72 (16 baris) dan bait 73 (8 baris). Pantun dengan banyak baris cenderung digunakan untuk mengekspresikan perasaan sedih yang dalam (simaklah isi bait 72). Pantun-pantun panjang seperti itu sering ditemukan dalam pendendangan (chanting) kaba dalam beberapa genre sastra lisan Minangkabau, seperti sijobangrabab Pariaman, dan dendang Pauah.

Ada rasa magis dalam baris isi bait 71: biasanya jika rindu kepada kekasih yang jauh, orang melihat fotonya. Tapi di sini cermin sakti menghadirkan banyangan si dia. Baris isi bait 72 mempertanyakan kesetiaan si dia yang jauh di sana: apakah dia masih cinta, sementara si aku lirik makin merasa sayang. Ini berbeda keadaannya dengan gambaran pada baris isi bait 73: kedua sejoli yang sedang terpisah saling menanggung rindu.

Baris-baris isi tiga bait terakhir menggambarkan perasaan seseorang yang cintanya ditolak. Cinta yang datang tapi dielakkan (baca: ditolak) (74) mungkin lebih disebabkan oleh faktor ekonomi jua, yaitu kemiskinan (75), yang tentu saja membuat diri seseorang dipandang rendah dan kurang berharga (hino) (76). Memang rupanya sudah menjadi adat dunia bahwa yang kaya bergandeng dengan yang kaya, yang miskin berjodoh sesamanya. Bukankah jika kita lihat adat pergaulan sosial yang kini berkembang di negara ini, di mana kesenjangan ekonomi antara golongan kaya dan rakyat berderai makin menganga lebar, pesan moral dalam bait-bait pantun di atas terasa benar belaka adanya?

Barangkali pantun Minangkabau, yang kebanyakan bernada sedih dan nelangsa itu, dan sering merefleksikan bagaimana manusia dipandang secara ekonomi, adalah representasi dari sikap materialisme yang khas Minangkabau. Kok ka naiak oto Kawan jo Alisma juo nyo, manga jauah-jauah bana marantau ka Ulando? , gurau seorang teman kepada saya yang melihat saya selalu naik bus umum setiap pulang dari rantau. Saya hanya tersenyum pencong mendengar cimeeh materialistis ala Pariaman itu.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 2 Januari 2011

 
Tidak terasa, rubrik ‘Khazanah Pantun Minang sudah memasuki nomor ke delapan. Kali ini sepuluh bait pantun lagi, yang dikutil dari Bijzondere Collecties Leiden University Library, kami hantarkan kepada sidang pembaca Padang Ekspres.

61. Bintang kalo tujuah sajaja,
Pangiriang bintang puyuah lago,
Ambo ini kurang pangaja,
Jangan disabuik kurang baso.

62. Manari-nari kumbang Padang,
Bari batali banang suto,
Santuni kami anak dagang,
Untuang manjadi ‘rang di siko.

63. Pitalah jo Bungo Tanjuang,
Katigo jo Gunuang Rajo,
Tidak salah bundo manganduang,
Salah di badan buruak pinto.

64. Den patah tidak tapatah,
Den titih balari-lari,
Den tagah tidak tatagah,
Den bari sakandak hati.

65. Anak sipasan punai tanah,
Gilo mairuik daun juo,
Sajak sajangka dari tanah,
Gilo maminun racun juo.

66. Singkarak kotonyo tinggi,
Sumaniak mandado dulang,
Awan bararak ditangisi,
Dagang jauah di rantau urang.

67. Sarasah Gunuang Marapi,
Malerang bardarai-darai,
Biduak pacah nangkodo mati,
Anak dagang barcara-barai.

68. Galo-galo di sarang rangik,
Rangik di sarang galo-galo,
Salamo manantang langik,
Balun dirasai nan bak nangko.

69. Mandaki bukik Sipisang,
Pai mambali lapiak pandan,
Manangih maadok pulang,
Takana di untuang badan.

70. Anak si Adun si Abdullah,
Padi nan jangan dilampisi,
Kok tibo hukum ajarullah,

Kami nan jangan ditangisi.

R.J. Chadwick dalam Uncosummated Metaphor in the Minangkabau Pantun (1994) mengatakan bahwa secara substansial pantun-pantun Minangkabau mengawali kisahnya dengan keberangkatan seorangperantau dari desanya, yang mengingatkan kembali pada kehidupan dalam rahim ibunya. Kisah itu kemudian memuncak pada perkawinannya, yang juga meramalkan kematiannya dan naiknya ke syurga. Tokoh puitis dalam pantun-pantun Minangkabau bisa laki-laki atau perempuan. Para wanita muncul dalam drama sebagai para pelaku, tetapi umumnya sebagai ibu, saudara perempuan, kekasih, istri, dan janda. Sebagian besar pantun dipusatkan pada periode antara keberangkatan sang parantaudan perkawinannya. Ada juga sejumlah pantun yang membuat pengamatan filosofis secara umum yang bisa berlaku pada titik mana pun dalam biografi seseorang tetapi, meski demikian, bukannya tidak relevan bagi biografi heroik.

Untaian pantun yang kami sajikan di atas merekam periode menjelang rantau dan juga setelah sampai di rantau. Isi bait 61-62 mengekspresikan sifat rendah hati perantau Minang. Mereka melihat rantau sebagai negeri orang yang airnya harus disauk, rantingnya harus dipatah. Mungkin karena itu pula secara umum perantau Minangkabau tak pernah berkonflik dengan penduduk asli atau pendatang lainnya di rantau. Perantau Minang, dengan demikian, melihat rantau sebagai (ganti) kampung sendiri, yang diharapkan dapat menjadi tempat untuk memperbaiki nasib malang (buruak pinto), misalnya karena orang tua meninggal biduak pacah, nangkodo mati yang memaksa mereka meninggalkan kampung halaman sendiri (bait 63-65, 67).

Dagang Minangkabau sering memendam penderitaan di rantau. Suka-duka di rantau, walau paling berat sekalipun (68), akan ditanggung sendiri (66). Akan tetapi justru karena itu pula kampung halaman sering terbayang (69). Namun, tekad dagang Minang ketika menuju rantau adalah: esa hilang, dua terbilang. Walau akhirnya mati di rantau, Bunda dan famili di kampung jangan menangis (70). Semoga sikap perantau Minang yang tidak cengeng itu tetap terwarisi oleh generasi perantau Minang masa kini.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 26 Desember 2010

 
Masih dalam soal dunia orang muda, kali ini kami tampilkan serangkaian pantun yang dikutip dari teks indang Pariaman (dari Toboh Sikaladi) yang direkam oleh Tanama Record tahun 1990-an).

52. Sudah Nagari Toboh Gadang,
Ka Sintuak pandang dialiahkan,
Mangko manangih dagang pulang,
Dek unjuak indak babarikan.

53. Toboh jo Sintuak lah diliek,
Kito pai ka Lubuak Aluang,
Kok santano sakik baubek,
Indak ka jauah doh pado kampuang.

54. Gaduang di Sintuak lah bararak,
Bararak baraliah tampan,
Kabek sabalik buhua sentak,
Murah dek urang marangguikan.

55. Sabalun ado Korong Tembok,
Parak Tingga namo daulu,
Dek nan bansaik tangguanglah ratok,
Putuih tali e sadang katuju.

56. Dari Tembok ka Palambaian,
Tungku tembok basusun rapek,
Alang jo sikok nan maintaian,
Sikikih pontong nan mandapek.

57. Kasiah bakayai kadok mungkia,
Bagai kasiak manompang buluah,
Lakek wakatu ado aia,
Kok lah masiak badoro jatuah.

58. Batang tapakih bakasiak putiah,
Tungku tembok baririk panjang,
Dek takanai kukang baragiah,
Indak tacaliak muko urang.

59. Balairuang di tangah pasa,
BKIA bidan mangasuah,
Kuku tataruang lai takana,
Kok kunun kasiah jolong tumbuah.

60. Korong Singguliang jo Koto Buruak,
Dalam ulayaik Ampek Lingkuang,
Ulah dek duyan tak batampuak,
Lah jauah pisau dari saruang.

Teks indang sarat dengan kalimat bersayap, sesuai dengan hakikatnya sebagai seni bersilat lidah yang memiliki nilai estetika tinggi. Diperlukan audiens yang tahu di bayang kato sampai untuk menangkap maknanya, jika tak ingin tersesat dalam rimba teks literer yang penuh simbolisme itu.

Sebabnya menangis dagang pulang, karena janji tidak dikabulkan (52), dan oleh karena itu dagang pergi merantau, karena tiada pengobat hati yang luka di kampung (53). Maksudnya tiada lain: cinta si pemuda ditolak (tapi tampaknya dukun belum bertindak).

Janji yang hanya di bibir saja membuat hati mudah berpaling ke pemuda/gadis lain. Itulah makna tersirat di balik ungkapan ikek sabalik buhua sentak (tidak berbuhul mati), mudah dek urang marangguikan (54). Dan ikatan kasih itu jadi putus seringkali karena kemiskinan jua (55).

Tapi kadang-kadang orang kaya dan berkuasa (dilambangkan dengan alang dan sikok) tak selalu berhasil merebut hati gadis idaman pemuda sekampung. Malah seorang pemuda sederhana (dilambangkan dengan burung sikikih yang bentuknya jelek) yang berhasil merebut hatinya (56). Memang betul kata pepatah lama: rezeki elang tidak akan dapat direbut oleh musang.

Cinta gadis matre diibaratkan seperti pasir di kulit bambu (buluah) yang hanya lengket ketika ada air (lambang untuk materi/uang) dan dia akan pergi atau berpaling ke lain hati begitu si dia sudah jatuh miskin (air sudah mengering) (58). Oleh karena itu, hati-hatilah, jangan langsung sertifikatkan segala harta benda Anda atas nama si dia yang kesetiaannya belum teruji. Nanti malah menjadi malu besar, tak berani lagi melihat wajah orang, seperti laku binatang kukang (58).

Coba antukkan kuku Anda ke batu. Aduhpasti sakitnya bukan main, dan tentu lama ingatnya. Kiranya lebih dari itu ingatan yang tersimpan dalam otak jika tercinta yang baru bersemi (jolong tumbuah) hurus putus karena direnggut orang lain (59).

Dan makna baris isi bait 60 itu (gara-gara durian tak bertangkai, sudah jauh pisau dari sarungnya), perlu pulakah saya jelaskan secara terus-terang makna denotatifnya kepada pembaca? Ah, tak usahlah, takut saya nanti diadili di bawah tuntutan Undang-Undang Anti Pornografi.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 19 Desember 2010

 
Minggu ini kita lanjutkan tamasya literer kita menikmati keindahan sastrawi pantun-pantun klasik Minangkabau. Setelah episode perantau ‘turun jenjang’ minggu lalu, sekarang kita ikuti suka-duka dagang Minangkabau menuju rantau.

41. Kacang paringek tapi aia,
Lah mati mangko babuah,
Ingek-ingek pelang balayia,
Lauik sati rantau batuah.

42. Baruang-baruang urang Pariaman,
Lah sudah takarang kasau,
Taguah-taguah pagang padoman,
Angin ka turun jo langkisau.

43. Taluak baliku Gunuang Padang,
Tanamlah sapek pajelokan,
Angin basiru biduak datang,
Sumbarang tapek kito layiakan.

44. Urang Nareh bajua kamba,
Pambayia utang ke Gumpani,
Angin dareh timbangi kapa,
Layia nan jangan dikurangi.

45. Urang Aceh bajua kain,
Di rumpuik dibantangkannyo,
Duo baleh galombang angin,
Tatungkuik dipantangkannyo.

46. Puyuah disangko katitiran,
Babulu rantak di dadonyo,
Lauik dibari batitian,
Ka bakeh tagak sadionyo.

47. Ikan banamo Sutan Deman,
Makan barulang ka parahu,
Lautan ‘lah jadi pamainan,
Labuahan kami balun tahu.

48. Batuang di mano ka ditabang,
Batuang nan condong ka tajujan,
Ajuang nan mano ka ditompang,
Ajuang nan jauah palayaran.

49.Tigo tungkuih nasi di guguak,
Dimakan ateh ragaian,
Tali putuih tiang taranyuak,
Biduak tapasah ka tapian.

50. Si Dauik anak Gunung Rayo,
Mambao tombak jo caramin,
Tidak dimukasuik disangajo,
Dibao ombak dengan angin.

51. Langgundi di tapi aia,
Lah rabah dipanjek karo,
Jurumudi rampehi layia,
Kito lah tibo di kualo.

Perahu (dengan berbagai nama lokal: sampan, biduak, pincalang, pelang, kolek, dll.) adalah lambang yang sering digunakan dalam sastra Melayu Klasik untuk jiwa, pikiran, atau hal lainya, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi. Ingatlah misalnya Syair Perahu (lihat: Braginsky, 2007) yang bersifat sufistik.

Dalam sastra Minangkabau, seperti terepresentasi dalam rangkaian pantun di atas, simbol perahu juga penting untuk menggambarkan suka-duka dagang Minangkabau menuju daerah perantauan. Jarak yang jauh antara ranah dan rantau dilambangkan sebagai laut luas. Dan kendaraan untuk menempuh jarak yang jauh itu dilambangkan dengan perahu.

Simbol perahu mungkin semacam jejak primordial cara merantau orang Minangkabau tahap awal: dulu, sebelum modernisasi sampai ke Indonesia, mungkin orang Minang pergi merantau naik kapal menyeberangi laut.

Simaklah 22 baris isi dalam 11 bait pantun di atas. Jika diparafrasekan, maka dapat dikatakan bahwa seorang perantau tidak boleh sombong, juga selama dalam perjalanan, sebab ‘laut sakti rantau bertuah’; teguhkan hati dan bulatkan tekad, walau apa pun yang terjadi; rantau yang dituju masih menyimpan misteri: sering seorang perantau Minang ‘dibawa ombak dan angin’ (di bawa nasib) ke negeri-negeri jauh yang belum diketahui.

Akan tetapi, begitu ‘perahu’ telah tiba di ‘kuala’ (baca: rantau), maka itu berarti perantauan dalam arti yang sebenarnya telah dimulai. Perantauan itu mungkin akan berhasil, tapi mungkin juga tidak. Dan jika hal yang terakhir terjadi, seorang Minang sudah punya rumus: ‘pado bansaik baliak ka kampuang, eloklah rantau dipajauah’.

(bersambung )

Suryadi [Leiden University, Belanda], Padang Ekspres, Minggu, 12 Desember 2010

 
Rubrik Khazanah Pantun Minang minggu ini menyuguhkan delapan bait pantun lagi yang merekam perceraian (sementara atau bisa juga selamanya) para calon perantau Minangkabau dengan kampung halaman mereka. Silakan para pembaca calon perantau, perantau yang sedang menjengukRanah Bundo, atau para veteran perantau yang sudah merasakan susah-senangnya hidup di rantau menikmatinya.

33. Sikaduduak di bawah rumah,
Ureknyo malinteh sandi,
Tinggalah Mandeh punyo rumah,
Kami bajalan anyo lai.

34. Pucuak pauah kulak-kulakan,
Kasiak badarai di kuali,
Pangku adiak buai-buaikan,
Kasiah bacarai anyo lai.

35. Tingga tokok tingga landasan,
Tingga batu kiliran taji,
Tingga kampuang tingga halaman,
Tingga tapian tampaik mandi.

36. Buah pauah dalimo batu,
Tambilang buek ka pinggalan
Sungguah jauh nagari satu,
Hilang di mato di hati jangan.

37. Tinggi malanjuiklah sitapuang,
Tinggi manyapu-nyapu awan,
Tingga tacaguiklah kau kampuang,
Kami barisuak ka bajalan.

38. Kok jadi awak ka pakan,
Iyu bali balanak bali,
Ikan panjang bali daulu,
Kok jadi Anak bajalan,
Ibu cari dunsanak cari,
Induak samang cari daulu.

39. Ambiak api pasang lantera,
Tariak kabau pasang padati,
Pacik umanaik di nan tingga,
Salamaik sajo pulang pai.

40. Tabantang lapiak tangah rumah,
Buatan urang Batang Kapeh,
Biduak ketek pangayuah lamah,
Mukasuik maadang lauik lapeh.

Memang Mandeh (baca: perempuan) lah yang punya rumah di Minangkabau, seperti disiratkan dalam bait 33. Lelaki Minang hanya mendapat ruang terbatas di atas rumah gadang: datang selincam di siang hari, tidur di surau di malam hari. Itu dulu, tapi kini mungkin sudah lain. Konon sekarang sudah banyak anak lelaki Minangkabau yang suka tidur di rumah ibunya ketimbang pergi ke surau untuk mengaji. Sudah menjadi perempuankah mereka? Mungkin saja kebiasaan ini muncul sejak robohnya surau kami, meminjam judul cerpen A.A. Navis (edisi pertama: 1956) yang terkenal itu.

Siapapun calon perantau Minang, pada mulanya dia akan merasa berat hati meninggalkan orang tua, adik-kakak, sanak famili, karib kerabat, teman sepermainan, dan kekasih hati di kampung. Padang Panjang pakan Rabaa / Nak taruih ka Bukiktinggi / Kasiah sayang kini ka tingga / Dagang bajalan anyo lai kata bait pantun yang lain. Berat rasanya hati menghadapi kenyataan bahwa kampung halaman dan tepian tempat mandi akhirnya harus ditinggalkan. Demikian perasaan si calon perantau yang terefleksi dalam bait 34 dan 35. Sungguhpun begitu, si calon perantau berjanji: walau jauh di mata, namun kampung halaman akan tetap dekat di hati (bait 36).

Dalam bait 37 terlukis situasi emosi seorang dagang Minangkabau yang akan pergi merantau. Gambaran tentang siapa yang gundah sengaja dibalikkan: bukan kampung yang sedih (mancaguik) sebenarnya, tapi justru si calon perantau yang merasa nelangsa hatinya karena akan pergi jauh ke negeri orang. Si aku lirik, yang sedang berperang dengan perasaan sendiri, berusaha menghibur dirinya sendiri. Ironi terbalik seperti itu juga dapat dikesan dalam bait 39: orang di kampung (bisa juga berarti kekasih) disuruh memegang amanat dengan erat. Tapi yang diragukan kesetiaannya justru sebenarnya mereka yang (akan) pergi, karena rantau mungkin akan mengubah diri mereka.

Ada kegamangan yang dirasakan ketika kapal merenggang dari dermaga Teluk Bayur, atau ketika otoGumarang sudah bergerak menuju arah Gunung Medan atau Kelok Sembilan: si calon perantau, yang masih belum banyak punya pengalaman, sadar bahwa ia akan mengharungi kehidupan baru yang masih penuh dengan ketidakpastian di negeri orang. Perasaan itu diibaratkan seperti biduk kecil dengan pendayung yang lemah, tapi harus menghadang laut lepas yang luas tak bertepi (bait 40).

Inti pengajaran yang paling penting bagi para perantau terdapat dalam bait 38: jika seorang Minang pergi merantau, induk semang harus dicari dahulu, dari suku atau bangsa mana saja boleh. Sebab perantau Minang jarang yang dimodali dengan pitih bakambuik dari kampung. Malah, seperti dinyatakan dalam bait itu, mencari induk semang harus didahulukan daripada mencari ibu pengganti atau famili. Susah untuk dimungkiri bahwa para perantau Minang yang sukses niscaya telah mengamalkan ajaran ini.

Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang EkspresMinggu, 5 Desember 2010

    Picture
    KEMBALI KE BERANDA
    English French German Spain

    Italian Dutch Russian Brazil

    Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
    Google Translate by Haris Fadhillah

    Khasanah Pantun Minangkabau

    Archives

    January 2013
    December 2012